Home > MH. Aripin Ali > Menanti Hikmahnya

Menanti Hikmahnya

Aku mendampingi orangtua murid membuat sekolah setelah 2 anaknya tidak cocok lagi di SDHT. Nama sekolahnya Semesta Hati. Orangtua murid itu, sekarang temanku, muslim yang baik. Ah, setidaknya kalau ia mengaji dengan group Aa Gym dan seorang PKS (Partai Keadilan Sejahtera) tulen, tak hanya basa-basi kan kalau aku menilainya sebagai muslim yang baik. Namun, aku juga khawatir kemusliman yang baik itu, membuatku terjebak dengan sekolah standar yang diidealkan mereka. Aku takut begitu-begitu saja. Ada 2 hal yang membuatku akhirnya mendampingi sekolah itu sampai sekarang: 1. Menerima guru yang tidak memakai kerudung, 2. Menerima siswa Katolik. Sebetulnya dalam pengertian sekolah alternatif, lebih dahulu sudah ada keputusan besar, yaitu terbukanya sekolah ini pada homeschooler dan menjadi sekolah yang memanjakan penemuan dan pengembangan minat anak. Salah satunya adalah program “Nyantrik” di mana anak-anak dengan minat tertentu, melalui pengelolaan sekolah, belajar di tempat seorang profesional di bidang terkait dengan minat anak.

Beberapa hari yang lalu -salah satu hari dari sepekan yang berisi ketegangan, prasngka, salah paham, diskusi panas antaraku dengan pihak sekolah- sekolah Semesta Hati dilanda Tsunami lokal. Air bandang meluluh-lantakan saung-saung yang berfungsi sebagai sentra-sentra pembelajaran. Aku yang diberitahu kejadian ini melalui telepon oleh temanku yang akhirnya jadi ketua yayasan, seperti biasa, biasa-biasa saja. Itu sudah terjadi dan aku tidak dapat berperan turut menyelesaikan permasalahan, ya sudah aku menjadi pendengar yang pendiam. Namun tidak demikian dengan ibu ketua yayasan yang bertanggung jawab terhadap semua itu, Tsunami lokal yang menimpa tumpukan masalah yang sedang dihadapinya, tetap membuatnya kuat untuk bertanya “Apa hikmahnya?”

Aku berpikir pada musibah bukan mencari hikmah tapi bersabar dan introspeksi diri untuk menemukan kekuatan sehingga dapat menghadapi ujian. Sabar itu lebih dekat dengan suasana prihatin, sedangkan hikmah dipersembahkan bagi suasana penuh keceriaan. Sekali lagi, namun, temanku seperti memaksa kedatangan hikmah. Lewat sehari, melalui jalan kejadian yang diakibatkan pembangunan fondasi oleh tetangga yang menyempitkan sungai dan pembangunannya dilakukan tanpa ijin, ramailah aparat sekitar dan beberapa wakil warga berdatangan. Mereka yang berlalu lalang, kenalan dengan pihak yayasan yang serta-merta mengenalkan sekolah juga, juga melihat kegiatan belajar di saung besar yang tidak rubuh, muncul komentar “Oh, di sini ada sekolah yang berbeda.” Aku pun dibuat tersenyum. Inilah hikmah yang ibu ketua yayasan nantikan.

Bila aku terbiasa mengalir saja, yang terjadi biarkan terjadi, memang begitu adanya. Langkahku pendek, yaitu sekedar menghadapinya tanpa berpikir sebelumnya bagaimana harus menghadapinya, juga tanpa berharap. Pragmatis kali. Persis seperti ini aku menghadapi keberangkatan istriku dengan si kecil Ali ke Palembang. Setelah 3 hal dilakukan secara ‘bersamaan’: aku membantu istri untuk dapat pindah ke Bandung, melamar kemungkinan bekerja di Swiss, dan kembali ke UNSRI; dan aku sampai pada kesempatan mengantar istri membeli tiket dan sepekan menjelang keberangkatan tidak ada perkembangan pada 2 hal lain yang diupayakan, ya sudah, berangkatlah. Aku sama sekali tidak berpikir bagaimana kan menjalani hari dengan 2 anakku yang tersisa dan tanpa sang kekasih, juga tanpa si kecil sang penghibur. Kalaupun harus kuakui selama peristiwa ini berjalan, aku merindukan tangisku sendiri. Kalaupun kuketahui aku menjadi lebih emosional.

Tadi pagi di hari kedua kami terpisah, aku mengirim SMS: Kemarin sampai pukul 16.15 di SDHT. Sempat menyelesaikan 1 tulisan untuk mengisi blog. Urusan rumah lancar. Malam membaca. Ada banyak buku etika di tempat tidur. Pukul 02.00 terbangun karena tak kuat menahan pipis dan kedinginan. Syukur berhasil berjuang dapat wudhu dan salat malam. Tidur lagi dan bangun agak kesiangan. Wudhu, bangunin anak-anak, salat, menanak nasi, nyelesein cucian, ngeluarin motor dan ngepel di ruang tamu, ngerapian tempat tidur, dan mandi pakai air dingin. Siap lah untuk pergi bekerja dan mungkin akan menulis lagi. Menyenangkan? Tidak. Tidak ada kegairahan menjelang semuanya. Ayah seperti orang yang menyibukkan diri daripada kesal menunggu yang sudah berjanji. Salam sayang.

Waktu luang untuk menulis dan membaca, mandi pakai air dingin yang menjadi kesepakatanku dengan Adry dan Azmi semenjak gas elpiji naik, masuk kerja kurang dari pukul 07.30 adalah beberapa contoh yang seringnya tidak dapat aku lakukan ketika istriku dan Ali di rumah. Bahkan ketika hari Sabtu, 2 hari sebelum istriku pergi ke Palembang, aku meminta ijin untuk mengisi blog di sekolah, ini menyulut pertengkaran di antara kami. Istriku sempat mengatakan bahwa aku akan leluasa memenuhi kesenanganku untuk menulis selama ia di Palembang. Jawaban istriku tak lama kemudian mengejutkan: Selama di sini, ibu punya program memaksa Allah memenuhi janji-Nya: mengabulkan doa orang-orang yang bermohon. Bantuin ya…

Jawaban instriku membuatku limbung. Aku diajak kenal pada doa. Aku didekatkan pada harapan. Aku diajak melalui hari-hari dalam balutan impian. Seperti ibu ketua yayasan, aku diajak bersiaga menantikan hikmahnya sebuah peristiwa, bukan sekedar rasionalitas sebuah peristiwa. Entahlah.

Hikmahnya peristiwa Tsunami lokal yang menimpa Semesta Hati bagai luncuran bola salju. Melalui salah satu orangtua murid yang memberitakan kejadian itu di webnya, www.vayenukman.multiply.com, pada bagian photo, Semesta Hati semakin dikenal dan jadi ‘barang’ yang membuat penasaran, juga mendapat sumbangan banyak doa. Bahwa Semesta Hati siswanya 12 orang kini diketahui seorang ibu yang sedang menemani suaminya bekerja di Iran. Ada banyak jalan rahasia yang berliku yang tersembunyi kausalitasnya dari akal manusia pada sebuah harapan yang bisa berlabuh di hati manusia-manusia yang baik.

Ah, kau kan kukenal dengan kebaikan hati yang berlimpah. Ayo, gugurkan pahamku. Thanks.

Categories: MH. Aripin Ali
  1. November 12, 2008 at 3:24 am

    It’s very emotional writing.
    Berpisah dengan kekasih hati, dalam arti, dia pergi untuk meninggalkan kita karena urusan pekerjaan memang belum pernah kurasakan. Yang lebih sering aku meninggalkannya dengan anak-anakku.
    Demi menghemat ongkos, aku pulang sehari sekali. Malam Senin, malam Kamis, dan terkadang malam Sabtu, aku menginap di Jakarta. Hari Minggu adalah hari spesial untuk istri dan anak-anakku. Aku rasa ada yang salah dalam caraku memperlakukan keluargaku. Kadang aku merasa terpenjara dengan rutinitas mencari uang. Uang, uang, dan hanya uang.
    Aku merasa ada alasan bahwa apa yang kuusahakan toh semuanya manifestasi Tuhan. Masalahnya, manifestasi (baca: uang) itu lebih mengikatku.
    Kembali ke soal: hai aku turut suka jika kau bisa bangun sekolah lagi. Kadang-kadang, aku merasa aku ingin seperti dirimu. Tapi, sepertinya, itu tak sesuai dengan sesuai dengan isti’dadku. Jadi, bagaimana kalau kususun lagi naskah hidupku setelah tesisku selesai.
    Ah, rasanya aku kangen juga. Tapi, kok lebih enak baca tulisan ya ketimbang ketemu. Ekspresinya lebih enak. Tapinya juga, sekali waktu, ingin ketemu juga sih.
    Belum ada program lagi ke jakarta, a?

  2. November 12, 2008 at 12:26 pm

    Selamat ya, Pak Aripin.

    Sudah saatnya memang komunitas sekolah menggunakan kemajuan teknologi komunikasi untuk pendidikan. Kami tunggu tulisan-tulisan selanjutnya. Akan lebih bagus kalau semua tulisan dan komentar menyertakan identitas yang jelas.

    Salam,

    Bambang Wisudo

  3. kusekolah
    November 13, 2008 at 2:58 am

    3 malam di Jakarta? Baru tahu euy.
    Jadi pikiran yang menakutkan ketika kenyataan “Demi menghemat ongkos” diajak mundur sebentar: apakah kalau tidak “menghemat ongkos” kita akan terjebak pada kemiskinan? Apakah kalau akal menilai “tidak menghemat ongkos” membuat terjebak kemiskinan, itu yang akan ditetapkan Tuhan? Apakah “ongkos yang dihemat” sepadan dengan menit-menit yang hilang untuk keluargamu? Pikirkan ini sebagai jual beli.
    Namun tidak bisa berhitung dengan cara jual-beli kalau unsur keyakinan terlibat. Sah saja kita tutup mata, tetap bahagia dengan yang berlangsung dan berprasangka baik pada Tuhan. Aku ingat dengan kisah Ayatullah Ali Khameini ketika beliau meninggalkan Qum untuk mengurus sang ayah. Pikiran akan sulit membenarkan. Namun Taqi Misbah Yazdi menyebut itu yang menjadi keutamaan beliau. Aku pikir ini yang kumaksud dengan keyakinan. Ha! Bukankah ini yang sebaiknya dilakukan istriku untuk berbakti pada keluarga dan meraup pahala terbaik baginya? Ha, ha, atau aku, demi melindunginya (suatu hal yang secara tradisional paling istimewa bagi sebutan ayah), nekad meninggalkan Bandung ke Palembang? Terlintas untuk segera berhitung apakah ini tidak mengorbankan kepentingan 2 sekolah yang kudampingi? Peranku sebagai suami dan ayah ternyata belum sampai derajat yakin: banyak alasan yang merongrongku untuk berpikir, alias ragu-ragu atau khawatir.
    Untuk nekad alias mengambil keputusan dengan keyakinan ternyata butuh kualitas pribadi tertentu.
    Thanks.

  4. anna farida
    June 19, 2009 at 3:42 am

    kemarin main ke SH dan sharing dengan Bu Anita, mudah-mudahan ada jalan bagi putra sulungku untuk sekolah di sana 🙂

  1. No trackbacks yet.

Leave a reply to kusekolah Cancel reply