Home > Forum Paralel > Satu Guru Terkenang Satu Teman Dikenang

Satu Guru Terkenang Satu Teman Dikenang

Forum Paralel pertamaku setelah libur Lebaran kumulai baru hari ini. Jatahku kemarin, 13 Oktober 2008, dipakai halalbihalal. Hari ini aku paralel dengan kelas 2.

Beberapa kali aku ditanya mau apa forum kali ini. Aku yang telah bersemangat untuk Forum Paralel dengan menjemput mereka langsung ke Ruang Guru ternyata cuma bawa semangat rindu doang. Pembicaraan pun jadi berputar-putar tidak tentu kesanakemarinya. Sampai nyantol lah di Laskar Pelangi. Ini filem ternyata mengisi hari libur banyak anak-anak kelas 2.

“Sepertinya filem itu tentang…” Eh ada juga guru yang belum baca dan nonton Laskar Pelangi. Temanku ini cerita tentang guru dalam sinetron yang selalu tampak tolol, bloon, bodoh, culun, ah rasanya ada ungkapannya yang aku lupa namun jelas ia merasa dihinakan. Dari kabar angin ia menduga Laskar Pelangi tidak begitu, kemudian menyimpulkan “Sepertinya filem itu tentang guru yang…”. Berebut guru lain menjelaskan buku dan filem Laskar Pelangi. Kami pun melanjutkan berbagi cerita tentang guru-guru di masa kecil yang berpengaruh terhadap pilihan karir dan dimilikinya nilai-nilai kecintaan dalam kehidupan kami saat ini. “Guru-guruku sewaktu SD tidak ada yang berkesan,” sela bu Sandra dengan tatapan yang mulai membersitkan kesal. Ih kok gitu, lihat kami yang lain dibuatnya berhenti berceloteh dan hanya melongo menunggunya bicara.

Ini pembicaraan bu Sandra yang ingin kutulis. Eh, semakin terus berbicara, sorot mata yang kesal ternyata sebenarnya seperti terlihat dari raut wajah dan tekanan suara adalah sorot kemarahan. Di akhir cerita saja kami dibuat tertawa, jadi berani menggodanya, dan bahkan memprovokasinya untuk terus bercerita. Inilah dalam huruf-huruf miring sebagian omongannya yang mau kurekam:

Aku dari keluarga miskin. DI SD I aku paling miskin. Memang kamu dibesarkan di mana? Lengkong Besar. Wah itu Bandung kotanya banget. Sebetulnya ada SD II dan III. Tapi ibuku memasukkan semua anaknya ke SD I yang anak-anaknya dari keluarga kaya. Cuma aku yang miskin membuat kemiskinanku mencolok. ya mencolok lah semuanya. Beda sendiri ini membuatku dibandingkan dengan semua yang lain.

Suatu kali… eh sebelumnya kali ini aku kasih pengantar. Sandra kecil itu mungil. Ini juga beda dari yang lain. Waktu kelas 6 saat mau ujian praktek salat seorang guru yang bisa kupastikan itu guru agama mempersilahkan dengan penghinaan, “Sekarang giliran anak TK. Giliran Sandra.”; Di sisi lain prinsip dari kemiskinan kalau barang dalam hal ini baju masih cukup ya terus dipakai, membuat baju seragam Sandra kelamaan cukupnya. Baju seragam itu pun beda sendiri: lusuh dan kekuning-kuningan… aku di depan kelas berdiri menghadap teman-teman. Guruku meminta anak-anak lain untuk memperhatikan bajuku dan membandingkan dengan baju mereka. Bu Sandra tidak sempat memberitahukan kapan itu terjadi, tapi menurutku itu terjadi di kelas 1. Matematika di kelas 1 belajar perbandingan: besar-kecil, panjang-pendek, berat-ringan, banyak-sedikit. Pembelajaran tematik akan membuat munculnya perbandingan sosial di pelajaran IPS, perbandingan moralitas di pelajaran PMP, perbandingan keimanan dalam pelajaran agama. Namun demikian, tuntutan prinsip Pembelajaran Kontekstual lah yang membuat guru memutuskan menjadikan temanku sebagai contoh. Ngocol saja ah daripada nangis.

Suatu kali lagi sepatuku rusak. Ibu… aku agak heran kata “bapak” tak Sandra pernah ucapkan. Padahal tertujunya kewajiban mencari nafkah kan di bapak. Aku juga begitu lho. Urusan kebutuhan primer aku yang penuhi dan keluarga dibawah tanggungjawabku dipaksa hidup dengannya. Sekalipun gaji istriku lebih besar, utamanya untuk mempercantik kami. Contohnya itu lho kenapa aku bisa pakai batik bagus terus padahal gajiku masih belum lagi sesuai kebutuhan pokok. Nah kan sepatu, seragam bukan kebutuhan primer, jadi ini urusan istriku. Kalau buku tidak disebut sebagai urusan istriku karena memang aku memaksakan diri menjadikannya kebutuhan primer… tidak bisa membelikanku yang baru. Rusaknya juga sudah parah sudah bukan urusan tukang sol sepatu. Akupun memakai sepatu kakak. Aku yang mungil menapaki halaman sekolah dengan sepatu kakakku. Boleh lah kupikir untuk membayangkan temanku ini seperti badut. Lupakan hidung bola pingpongnya, lupakan perut buncitnya, ganti baju warna-warni mencolok dengan seragam lusuh dengan warna kekuning-kuningan, dan sesuai yang kita bicarakan hanya perhatikan sepatunya. Teman-teman segera mendatangiku. Bergantian mereka memijit, menekan bagian depan sepatu yang tak terjangkau jari-jari kakiku. Aku sudah tak berani mengingat kata-kata dan tatapan yang menyertai tindakan mereka.

Hai aku tak percaya ada lingkungan sekolah sekejam itu, apalagi untuk sekolah tingkat dasar. Selain seragam yang lusuh aku juga tidak punya seragam pramuka. Guru-guru sangat senang mengolok-olok aku yang tidak mentaati peraturan sekolah. Selalu tidak semua memang. Kalau aku menyebut “guru-guru” itu hanya berarti sebagian besar guru demikian. Suatu kali guru yang selalu dapat kukecualikan sikapnya memberiku sesuatu yang terbungkus kertas koran. Aku mengambilnya seperti biasa begitu saja dan membawanya pulang. Di rumah aku yang membuka bungkusan itu tidak bisa cuma membuka begitu saja seperti biasanya melainkan dibuatnya terlonjak, jingkrak-jingkrak, girang memeluk seragam putih merah dan pramuka. Aku lega tak jadi menjemput gelisah karena tadi hendak mempertanyakan Keadilan Tuhan. Sewaktu aku menikah aku mengundang bu Nani dengan sepenuhnya meyakini akan kedatangannya. Tentu saja aku diyakinkan oleh seragam pemberiannya, juga oleh tak bosannya beliau mencari kabar tentangku kepada semua adik-adikku yang menjadi muridnya kemudian. Beliau datang menemuiku yang mendapatkan berkah kemuliaan hatinya.

Pada kami yang terpana Sandra menceritakan bahwa ia mengharamkan sebagai guru untuk tidak menerima anak apa adanya alias memperbandingkan anak dengan anak lain berdasarkan norma, keadaan atau nilai-nilai tertentu. Kupikir nestapa yang dialami Sandra banyak terjadi karena perbandingan berdasarkan “keadaan”, misalnya itu sekolah kaya bukan tempatnya bagi dia di SD I melainkan sepantasnya di SD II dan SD III. Namun tidak ada keadaan “yang tetap” tidak membentuk nilai-nilai atau budaya sehingga dengan banyaknya anggota sekolah yang menyetujui pembedaan keadaan tersebut, mereka pun menjadi katalisator bagi kompleksitas permasalahan yang mengemuka. Ini seperti Laskar Pelangi, tidak peduli seberat dan sekompleks apa juga lingkungan membuat seseorang merana dan mendekatkan orang pada kesesatan jati diri, kehadiran bu Nani adalah kehadiran kekuatan untuk melawan semuanya, kehadiran harapan.

Selain bu Nani ada Dicky yang dikecualikan. Dicky dikecualikan dari teman-temannya sejak dari kelas 1 sampai kelas 6. Mengetahui Sandra tanpa uang jajan, Dicky menyisihkan sebagian dari uang jajannya. 100 rupiah lho. Hampir setiap hari selama 6 tahun jadi teman sekelas. Bagiku ini agak aneh. Bukan. Ada isyarat Keadilan Tuhan di sini. Tersembunyi. Bagiku kualitas satu Dicky sederajat dengan jumlah teman-teman yang lain. Indah kurasa hidup dan tak akan lingkungan sosial menyesatkan kedirian seseorang bila isyarat seperti ini dapat diselusuri jejaknya setapak demi setapaknya. Selama 6 tahun itu tak pernah sekalipun 100 rupiah yang terulur diketahui seorang pun teman yang lain. Aku ingat dengan kehati-hatian Dicky ini berkaitan dengan buku pelajaran yang akan diberikannya setalah menarik aku ke taman di belakang sekolah. Wah asyik, cinta pertama ya. Bukan cinta pertama kali kalau sewaktu kelas 6 ia mulai agak terbuka melainkan aku memang sudah kelihatan cantik. Selepas SD aku tidak pernah bersua lagi. Dicky seorang teman yang dikenang saat Sandra dapat melihat dirinya dengan kebanggaan.

Categories: Forum Paralel
  1. October 21, 2008 at 9:05 am

    Mengharukan. Ketika aku membaca blog ini, aku merasa betapa nikmat Allah begitu luar biasa. Sewaktu di SD aku jarang mengalami kesulitan seperti ini. (Atau mungkin aku tak menjadikannya sulit ?) Padahal aku masih ingat, hari pertama aku masuk sekolah dasar adalah hari pertama ayahku, yang beranak dua belas orang, pensiun sebagai jurubayar gaji di sebuah sekolah.
    Setahuku, ibu jarang mengeluh. Sejak ayah pensiun, Ibu–seperti lazimnya ibu rumah tangga lain yang beristrikan suami PNS–dengan gesit membantu ayah untuk menambah penghasilan. Aku masih ingat, di gelap malam ibu membuat kue sagon yang dititipkan ke sekolahku dan juga sekolah kakak-kakakku.
    Sampai enam tahun selama itulah aku ikut menjualkan kue-kuenya di SD-ku. Syukurlah, hampir tak ada teman ataupun guru-guru yang mengolok-olokku. Padahal SD-ku tempat bersekolah termasuk favorit pada saat itu.
    Barangkali hal itu bisa kutebus dengan prestasiku yang selalu peringkat besar. Kalau tidak ranking 1 ya ranking 2 (!).
    Mungkin hal yang paling “mengesankan” adalah ketika aku disukai seorang perempuan (sic!) pesaingku dalam memperebutkan kursi nomor 1 di kelas. Ternyata belakangan ketahuan, aku cuma dimanfaatkan saja agar orang lain yang disukainya cemburu terhadapnya. (Halah anak SD sudah segitunya!!)
    Ok, teruskan blogmu!

  2. October 26, 2008 at 6:34 pm

    Saya sedang banyak berpikir tentang apakah sekolah membantu mempromosikan mobilitas sosial seorang murid, atau malah mengendapkan latar belakang sosial seorang murid sehingga dirinya maupun saudara-saudaranya tidak akan pernah keluar dari lingkaran kemiskinan. Cerita Ibu Sandra memperkuat kenyataan bahwa sekolah, melalui perilaku guru-guru, lebih sering mempermalukan seorang murid semata-mata karena ia miskin. Tentunya ada yang salah dengan kenyataan sosial ini, namun bagaimana mencoba merubahnya, bermula di sekolah?

  1. No trackbacks yet.

Leave a comment